analyticstracking
Indonesia Archipelago Network News - IANnews.id

Provinsi Jawa Timur

 

Nama Resmi : Kota Blitar
Ibukota : Blitar

Tanggal berdiri :1 April 1906 

Walikota : Drs. H. Santoso M.Pd.

Wakil Walikota :  Tjutjuk Sunario
Luas Wilayah : 32.58 KM
Jumlah Penduduk : 
Jumlah Penduduk :  131.968 jiwa

Wilayah Administrasi : Kecamatan :3,Kelurahan:21
Alamat Kantor : Jl. Merdeka No.105 Blitar
T : (0342) 801496
E : sekda@blitarkota.go.id
W : http://blitarkota.go.id/

Nama 3 Kecamatan di Blitar Kota.:

Kecamatan Kepanjenkidul.

Kecamatan Sananwetan.

Kecamatan Sukorejo.

 
Legenda

Seperti diketahui, menurut sejumlah buku sejarah, terutama buku Bale Latar, Blitar didirikan pada sekitar abad ke-15. Nilasuwarna atau Gusti Sudomo, anak dari Adipati Wilatika Tuban, adalah orang kepercayaan Kerajaan Majapahit, yang diyakini sebagai tokoh yang mbabat alas. Sesuai dengan sejarahnya, Blitar dahulu adalah hamparan hutan yang masih belum terjamah manusia. Nilasuwarna, ketika itu, mengemban tugas dari Majapahit untuk menumpas pasukan Tartar yang bersembunyi di dalam hutan selatan (Blitar dan sekitarnya). Sebab, bala tentara Tartar itu telah melakukan sejumlah pemberontakan yang dapat mengancam eksistensi Kerajaan Majapahit. Singkat cerita, Nilasuwarna pun telah berhasil menunaikan tugasnya dengan baik Bala pasukan Tartar yang bersembunyi di hutan selatan, dapat dikalahkan.

Sebagai imbalan atas jasa-jasanya, oleh Majapahit, Nilasuwarna diberikan hadiah untuk mengelola hutan selatan, yakni medan perang yang dipergunakannya melawan bala tentara Tartar yang telah berhasil dia taklukkan. Lebih daripada itu, Nilasuwarna kemudian juga dianugerahi gelar Adipati Ariyo Blitar I dengan daerah kekuasaan di hutan selatan. Kawasan hutan selatan inilah yang dalam perjalanannya kemudian dinamakan oleh Adipati Ariyo Blitar I sebagai Balitar (Bali Tartar). Nama tersebut adalah sebagai tanda atau pangenget untuk mengenang keberhasilannya menaklukkan hutan tersebut.

Sejak itu, Adipati Ariyo Blitar I mulai menjalankan kepemimpinan di bawah Kerajaan Majapahit dengan baik. Dia menikah dengan Gutri atau Dewi Rayung Wulan, dan dianugerahi anak Djoko Kandung. Namun, di tengah perjalanan kepemimpinan Ariyo Blitar I, terjadi sebuah pemberontakan yang dilakukan oleh Ki Sengguruh Kinareja, yang tidak lain adalah Patih Kadipaten Blitar sendiri. Ki Sengguruh pun berhasil merebut kekuasaan dari tangan Adipati Ariyo Blitar I, yang dalam pertempuran dengan Sengguruh dikabarkan tewas. Selanjutnya Sengguruh memimpin Kadipaten Blitar dengan gelar Adipati Ariyo Blitar II. Selain itu, dia juga bermaksud menikahi Dewi Rayungwulan. Mengetahui bahwa ayah kandungnya (Adipati Ariyo Blitar I) dibunuh oleh Sengguruh atau Adipati Ariyo Blitar II maka Djoko Kandung pun membuat perhitungan. Dia kemudian melaksanakan pemberontakan atas Ariyo Blitar II, dan berhasil. Djoko Kandung kemudian dianugerahi gelar Adipati Ariyo Blitar III. Namun sayangnya dalam sejarah tercatat bahwa Joko Kandung tidak pernah mau menerima tahta itu, kendati secara de facto dia tetap memimpin warga Kadipaten Blitar.

Sejarah

Pada fase “kepemimpinan” Djoko Kandung, atau Adipati Ariyo Blitar III, pada sekitar tahun 1723 dan di bawah Kerajaan Kartasura Hadiningrat pimpinan Raja Amangkurat, Blitar jatuh ke tangan penjajah Belanda. Karena Raja Amangkurat menghadiahkan Blitar sebagai daerah kekuasaannya kepada Belanda yang dianggap telah berjasa membantu Amangkurat dalam perang saudara termasuk perang dengan Ariyo Blitar III yang berupaya merebut kekuasaannya. Blitar pun kemudian beralih kedalam genggaman kekuasaan Belanda, yang sekaligus mengakhiri eksistensi Kadipaten Blitar sebagai daerah pradikan.

Penjajahan di Blitar berlangsung dalam suasana serba menyedihkan karena memakan banyak korban, baik nyawa maupun harta dan akhirnya rakyat Blitar pun kemudian bersatu padu dan bahu membahu melakukan berbagai bentuk perlawanan kepada Belanda. Dan untuk meredam perlawanan rakyat Blitar, pada tahun 1906 pemerintahan kolonial Belanda mengeluarkan sebuah Staatsblad van Nederlandche Indie Tahun 1906 Nomor 150 tanggal 1 April 1906, yang isinya adalah menetapkan pembentukan Gemeente Blitar. Momentum pembentukan Gemeente Blitar inilah yang kemudian dikukuhkan sebagai hari lahirnya Kota Blitar. Pada tahun itu juga dibentuk beberapa kota lain di Indonesia antara lain kota Batavia, Buitenzorg, Bandoeng, Cheribon, Magelang Semarang, Madioen, Blitar, Malang, Surabaja dan Pasoeroean.

Pada tahun 1928, Kota Blitar pernah menjadi Kota Karisidenan dengan nama "Residen Blitar", dan berdasarkan Stb. Tahun 1928 Nomor 497 Gemeente Blitar ditetapkan kembali. Pada tahun 1930, Kotaparaja Blitar sudah memiliki lambang daerah sendiri. Lambang itu bergambar sebuah gunung dan Candi Penataran, dengan latar belakang gambar berwarna kuning kecoklatan di belakang gambar gunung –yang diyakini menggambarkan Gunung Kelud dan berwarna biru di belakang gambar Candi Penataran. Alasan yang mendasarinya adalah Blitar selama ini identik dengan Candi Penataran dan Gunung Kelud. Sehingga, tanpa melihat kondisi geografis, lambang Kotapraja Blitar pun mengikuti identitas itu.

Pada tahun 1942, Jepang berhasil menduduki Kota Blitar dan istilah Gementee Blitar berubah menjadi “Blitar Shi”, yang diperkuat dengan produk hukum yang bernama Osamu Seerai. Di masa ini, penjajah Jepang menggunakan isu sebagai saudara tua bangsa Indonesia, Kota Blitar pun masih belum berhenti dari pergolakan. Bukti yang paling hebat, adalah pemberontakan PETA Blitar, yang dipimpin Soedancho Suprijadi. Pemberontakan yang terjadi pada tanggal 14 Februari 1945 itu, merupakan perlawanan yang paling dahsyat atas kependudukan Jepang di Indonesia yang dipicu dari rasa empati serta kepedulian para tentara PETA atas siksaan –baik lahir maupun batin- yang dialami rakyat Indonesia oleh penjajah Jepang.

Konon kabarnya, menurut Cindy Adams di dalam otobiografi Bung Karno, pada tanggal 14 Februari 1945 itu pula, Soeprijadi dan kawan-kawan sebelum melakukan pemberontakan, sempat berdiskusi tentang rencana pemberontakan ini dengan Ir. Soekarno yang ketika itu tengah berkunjung ke Ndalem Gebang. Namun Soekarno ketika itu tidak memberikan dukungan secara nyata karena Soekarno beranggapan lebih penting untuk mempertahankan eksistensi pasukan PETA sebagai salah satu komponen penting perjuangan memperebutkan kemerdekaan.

Di luar pemberontakan yang fenomenal itu, untuk kali pertamanya di bumi pertiwi ini Sang Saka Merah Putih berkibar. Adalah Partohardjono, salah seorang anggota pasukan Suprijadi, yang mengibarkan Sang Merah Putih di tiang bendera yang berada di seberang asrama PETA. Kini tiang bendera itu berada di dalam kompleks TMP Raden Widjaya, yang dikenal pula sebagai Monumen Potlot.

Pemberontakan PETA ini walaupun dari sisi kejadiannya terlihat kurang efektif karena hanya berlangsung dalam beberapa jam dan mengakibatkan tertangkapnya hampir seluruh anggota pasukan PETA yang memberontak, kecuali Suprijadi, namun dari sisi dampak yang ditimbulkan peristiwa ini telah mampu membuka mata dunia dan menggoreskan tinta emas dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia karena peristiwa tersebut merupakan satu-satunya pemberontakan yang dilakukan oleh tentara didikan Jepang.

Beberapa saat setelah pemberontakan PETA Blitar, tepatnya tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno – Hata memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Rakyat Kota Blitar pun menyambutnya dengan gembira. Sebab, hal inilah yang ditunggu-tunggu dan justru itulah yang sebetulnya menjadi cita-cita perjuangan warga Kota Blitar selama ini. Karena itu, rakyat Kota Blitar segera mengikrarkan diri berada di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Sebagai bukti keabsahan keberadaan Kota Blitar dalam Republik Indonesia, Pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1945 tentang perubahan nama “Blitar Shi” menjadi "Kota Blitar".
Wilayah Administrasi : Kecamatan : 3
Alamat Kantor : Jl. Merdeka No.105 Blitar

 Legenda

Seperti diketahui, menurut sejumlah buku sejarah, terutama buku Bale Latar, Blitar didirikan pada sekitar abad ke-15. Nilasuwarna atau Gusti Sudomo, anak dari Adipati Wilatika Tuban, adalah orang kepercayaan Kerajaan Majapahit, yang diyakini sebagai tokoh yang mbabat alas. Sesuai dengan sejarahnya, Blitar dahulu adalah hamparan hutan yang masih belum terjamah manusia. Nilasuwarna, ketika itu, mengemban tugas dari Majapahit untuk menumpas pasukan Tartar yang bersembunyi di dalam hutan selatan (Blitar dan sekitarnya). Sebab, bala tentara Tartar itu telah melakukan sejumlah pemberontakan yang dapat mengancam eksistensi Kerajaan Majapahit. Singkat cerita, Nilasuwarna pun telah berhasil menunaikan tugasnya dengan baik Bala pasukan Tartar yang bersembunyi di hutan selatan, dapat dikalahkan.

Sebagai imbalan atas jasa-jasanya, oleh Majapahit, Nilasuwarna diberikan hadiah untuk mengelola hutan selatan, yakni medan perang yang dipergunakannya melawan bala tentara Tartar yang telah berhasil dia taklukkan. Lebih daripada itu, Nilasuwarna kemudian juga dianugerahi gelar Adipati Ariyo Blitar I dengan daerah kekuasaan di hutan selatan. Kawasan hutan selatan inilah yang dalam perjalanannya kemudian dinamakan oleh Adipati Ariyo Blitar I sebagai Balitar (Bali Tartar). Nama tersebut adalah sebagai tanda atau pangenget untuk mengenang keberhasilannya menaklukkan hutan tersebut.

Sejak itu, Adipati Ariyo Blitar I mulai menjalankan kepemimpinan di bawah Kerajaan Majapahit dengan baik. Dia menikah dengan Gutri atau Dewi Rayung Wulan, dan dianugerahi anak Djoko Kandung. Namun, di tengah perjalanan kepemimpinan Ariyo Blitar I, terjadi sebuah pemberontakan yang dilakukan oleh Ki Sengguruh Kinareja, yang tidak lain adalah Patih Kadipaten Blitar sendiri. Ki Sengguruh pun berhasil merebut kekuasaan dari tangan Adipati Ariyo Blitar I, yang dalam pertempuran dengan Sengguruh dikabarkan tewas. Selanjutnya Sengguruh memimpin Kadipaten Blitar dengan gelar Adipati Ariyo Blitar II. Selain itu, dia juga bermaksud menikahi Dewi Rayungwulan. Mengetahui bahwa ayah kandungnya (Adipati Ariyo Blitar I) dibunuh oleh Sengguruh atau Adipati Ariyo Blitar II maka Djoko Kandung pun membuat perhitungan. Dia kemudian melaksanakan pemberontakan atas Ariyo Blitar II, dan berhasil. Djoko Kandung kemudian dianugerahi gelar Adipati Ariyo Blitar III. Namun sayangnya dalam sejarah tercatat bahwa Joko Kandung tidak pernah mau menerima tahta itu, kendati secara de facto dia tetap memimpin warga Kadipaten Blitar.

Sejarah

Pada fase “kepemimpinan” Djoko Kandung, atau Adipati Ariyo Blitar III, pada sekitar tahun 1723 dan di bawah Kerajaan Kartasura Hadiningrat pimpinan Raja Amangkurat, Blitar jatuh ke tangan penjajah Belanda. Karena Raja Amangkurat menghadiahkan Blitar sebagai daerah kekuasaannya kepada Belanda yang dianggap telah berjasa membantu Amangkurat dalam perang saudara termasuk perang dengan Ariyo Blitar III yang berupaya merebut kekuasaannya. Blitar pun kemudian beralih kedalam genggaman kekuasaan Belanda, yang sekaligus mengakhiri eksistensi Kadipaten Blitar sebagai daerah pradikan.

Penjajahan di Blitar berlangsung dalam suasana serba menyedihkan karena memakan banyak korban, baik nyawa maupun harta dan akhirnya rakyat Blitar pun kemudian bersatu padu dan bahu membahu melakukan berbagai bentuk perlawanan kepada Belanda. Dan untuk meredam perlawanan rakyat Blitar, pada tahun 1906 pemerintahan kolonial Belanda mengeluarkan sebuah Staatsblad van Nederlandche Indie Tahun 1906 Nomor 150 tanggal 1 April 1906, yang isinya adalah menetapkan pembentukan Gemeente Blitar. Momentum pembentukan Gemeente Blitar inilah yang kemudian dikukuhkan sebagai hari lahirnya Kota Blitar. Pada tahun itu juga dibentuk beberapa kota lain di Indonesia antara lain kota Batavia, Buitenzorg, Bandoeng, Cheribon, Magelang Semarang, Madioen, Blitar, Malang, Surabaja dan Pasoeroean.

Pada tahun 1928, Kota Blitar pernah menjadi Kota Karisidenan dengan nama "Residen Blitar", dan berdasarkan Stb. Tahun 1928 Nomor 497 Gemeente Blitar ditetapkan kembali. Pada tahun 1930, Kotaparaja Blitar sudah memiliki lambang daerah sendiri. Lambang itu bergambar sebuah gunung dan Candi Penataran, dengan latar belakang gambar berwarna kuning kecoklatan di belakang gambar gunung –yang diyakini menggambarkan Gunung Kelud dan berwarna biru di belakang gambar Candi Penataran. Alasan yang mendasarinya adalah Blitar selama ini identik dengan Candi Penataran dan Gunung Kelud. Sehingga, tanpa melihat kondisi geografis, lambang Kotapraja Blitar pun mengikuti identitas itu.

Pada tahun 1942, Jepang berhasil menduduki Kota Blitar dan istilah Gementee Blitar berubah menjadi “Blitar Shi”, yang diperkuat dengan produk hukum yang bernama Osamu Seerai. Di masa ini, penjajah Jepang menggunakan isu sebagai saudara tua bangsa Indonesia, Kota Blitar pun masih belum berhenti dari pergolakan. Bukti yang paling hebat, adalah pemberontakan PETA Blitar, yang dipimpin Soedancho Suprijadi. Pemberontakan yang terjadi pada tanggal 14 Februari 1945 itu, merupakan perlawanan yang paling dahsyat atas kependudukan Jepang di Indonesia yang dipicu dari rasa empati serta kepedulian para tentara PETA atas siksaan –baik lahir maupun batin- yang dialami rakyat Indonesia oleh penjajah Jepang.

Konon kabarnya, menurut Cindy Adams di dalam otobiografi Bung Karno, pada tanggal 14 Februari 1945 itu pula, Soeprijadi dan kawan-kawan sebelum melakukan pemberontakan, sempat berdiskusi tentang rencana pemberontakan ini dengan Ir. Soekarno yang ketika itu tengah berkunjung ke Ndalem Gebang. Namun Soekarno ketika itu tidak memberikan dukungan secara nyata karena Soekarno beranggapan lebih penting untuk mempertahankan eksistensi pasukan PETA sebagai salah satu komponen penting perjuangan memperebutkan kemerdekaan.

Di luar pemberontakan yang fenomenal itu, untuk kali pertamanya di bumi pertiwi ini Sang Saka Merah Putih berkibar. Adalah Partohardjono, salah seorang anggota pasukan Suprijadi, yang mengibarkan Sang Merah Putih di tiang bendera yang berada di seberang asrama PETA. Kini tiang bendera itu berada di dalam kompleks TMP Raden Widjaya, yang dikenal pula sebagai Monumen Potlot.

Pemberontakan PETA ini walaupun dari sisi kejadiannya terlihat kurang efektif karena hanya berlangsung dalam beberapa jam dan mengakibatkan tertangkapnya hampir seluruh anggota pasukan PETA yang memberontak, kecuali Suprijadi, namun dari sisi dampak yang ditimbulkan peristiwa ini telah mampu membuka mata dunia dan menggoreskan tinta emas dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia karena peristiwa tersebut merupakan satu-satunya pemberontakan yang dilakukan oleh tentara didikan Jepang.

Beberapa saat setelah pemberontakan PETA Blitar, tepatnya tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno – Hata memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Rakyat Kota Blitar pun menyambutnya dengan gembira. Sebab, hal inilah yang ditunggu-tunggu dan justru itulah yang sebetulnya menjadi cita-cita perjuangan warga Kota Blitar selama ini. Karena itu, rakyat Kota Blitar segera mengikrarkan diri berada di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Sebagai bukti keabsahan keberadaan Kota Blitar dalam Republik Indonesia, Pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1945 tentang perubahan nama “Blitar Shi” menjadi "Kota Blitar".

Geografi

Secara geografis, Kota Blitar terletak di sebelah selatan Provinsi Jawa Timur, berada di kaki Gunung Kelud dengan ketinggian 156 meter dari permukaan laut, dan bersuhu udara rata-rata cukup sejuk antara 24°–34° Celsius.


Pusat Informasi Pariwisata dan Perdagangan

Pusat Informasi Pariwisata dan Perdagangan (PIPP) adalah pusat layanan informasi bagi para pelaku ekonomi, khususnya pelaku perdagangan, selain sebagai pusat layanan informasi tentang pariwisata. Pembangunan pusat informasi ini adalah bentuk realisasi kebijakan pembangunan sarana-prasarana ekonomi pada umumnya, serta sarana-prasarana perdagangan dan pariwisata pada khususnya. Ini adalah penjabaran dari pembangunan sistem perdagangan barang dan jasa unggulan sebagaimana yang tersurat dalam rumusan visi Kota Blitar.


PIPP menjadi media integrasi informasi dan publikasi pariwisata dan potensi daerah secara bersama-sama antara daerah Kota Blitar beserta daerah sekitarnya, seperti Kabupaten Blitar, Kabupaten Kediri, Kota Kediri, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Nganjuk, serta daerah-daerah lainnya di wilayah administrasi Badan Koordinasi Wilayah I Madiun. PIPP diresmikan pada tanggal 3 Juli 2004 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri bersamaan dengan peresmian beberapa objek lainnya, antara lain Stadion Gelora Supriyadi, Pasar Legi, dan Perpustakaan Persada Bung Karno.


Fasilitas Pendukung

Stadion Gelora Soeprijadi merupakan markas dari klub sepak bola PSBK Blitar yang berlaga di liga 3 dan Blitar United yang baru saja promosi ke liga 2

Pusat Layanan Autis (PLA)

Hotel Tugu Sri Lestari terletak di Jalan Merdeka. Hotel ini lebih dikenal dengan sebutan Sri Lestari saja. Hotel bergaya kolonial ini merupakan hotel tertua yang berdiri di pusat Kota Blitar dan merupakan saksi sejarah dari peristiwa Pemberontakan Peta yang terjadi pada tanggal 14 Februari 1945.

Patria Plaza Hotel terletak di Jalan Kartini. Hotel ini diresmikan oleh Wali Kota Blitar pada tanggal 1 Januari 2005.

Hotel Puri Perdana terletak di Jalan Anjasmoro. Hotel ini adalah hotel pertama di Kota Blitar yang memberikan fasilitas internet gratis

==- Rupa-rupa ==-


Kota dan Kabupaten Blitar merupakan daerah utama yang dilewati oleh lahar Gunung Kelud apabila meletus.